WELCOME TO INDONESIAN MOSLEM STUDENT REGIONAL OF BANTEN
 

Sekretariat : Gedung Islamic Center
Masjid Agung Serang ( Kantor DMI Serang )

(Mobile Phone ; 081280605520,08561842545)


 
ZONA NYAMAN AKTIVIS
Oleh : Nisaillah
 
Logika ”Pawang Macan”
 
 

Beberapa kasus di kejaksaan yang selesai begitu saja tanpa proses hukum yang jelas. Maraknya pemberitaan media tentang keterlibatan dugaan kasus suap jaksa yang juga menyeret beberapa pejabat tinggi kejaksaan menjadi icon potret buram hukum negeri ini. Betapa lembaga yang diharapkan dapat mengeyomi masyarakat dengan hukum yang adil, ternyata menyimpan bara dalam sekam yang suatu saat dapat meruntuhkan bangunan hukum dan kepercayaan masyarakat. Demikian pula dengan berkepanjangannya kasus lumpur Lapindo, tragedi UNAS dan UNSU yang tak jelas penyelesaiannya, reaksi terhadap kenaikan BBM dan kasus-kasus yang melibatkan para pejabat tinggi yang berakhir dengan damai nyaris tanpa perlawanan. Kasus-kasus tersebut hanya sebagian kecil dari sekian banyak kasus yang tak terungkap. Seperti fenomena gunung es yang misterius. Muncul dan menyimpan setumpuk misteri di bawahnya yang tak dapat tgerjamah oleh hukum dan media, tapi kemudian mencair dan menghilang begitu saja ketika ada perubahan suasana dan iklim.

 
Hal serupa terjadi di kalangan aktivis. Aktivis yang telah lama menjadi icon perubahan, belakangan ini eksistensinya sering dipertanyakan oleh masyarakat. Pandangan negatif terhadap aktivis semakin tinggi seiring menjamurnya lembaga-lembaga tempat aktivis beraktivitas. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Organisasi Kemasyarakatan (Ormas), Organisasi Non Politik (Ornop), Perkumpulan/ Paguyuban atau apa pun nama dan jenisnya, di mata masyarakat awam semuanya adalah sama. Pengusung perubahan yang kini namanya tengah dilanda badai deidealisasi. Beberapa isu menyebutkan bahwa saat ini aktivis telah berada pada zona nyaman yang sengaja diciptakan oleh penguasa untuk membungkam suara-suara nurani untuk perubahan yang mewakili masyarakat. Aktivis tak ubahnya seperti PSK (Pekerja Sosial Komersil). Aspirasi dan persoalan soaial menjadi komoditas dengan harga jual tinggi. Tawar menawar harga antara petinggi pergerakan dengan pihak-pihak berkepentingan untuk suatu kasus bukan fenomena aneh lagi. Seiring menurunnya citra aktivis di mata masyarakat, rupanya membuat para oknum penguasa semakin leluasa melakukan kejahatan publik. Tidak ada lagi kekhawatiran bagi mereka karena mengannggap ’Pembela Rakyat’ telah mati atau telah berada dalam pengaruh kendalinya. Yang berkuasa saat ini adalah harta dan tahta.
 
 

Logika ”Pawang Macan” biasanya digunakan oleh seorang saudagar yang ingin mempertahankan kekayaannya dari ancaman perampok, yaitu dengan menjadikan perampok sebagai teman agar hartanya tidak dirampok. Karena perampok pun dinilai masih memiliki prinsip pertemanan. Jadi, perampok itu tidak akan merampok temannya. Logika ini cukup populer di masyarakat, walau pun kebenaran dari logika tersebut belum terbukti sepenunya. Dalam ranah politik, strategi ’Pawang Macan” ini dinilai cukup ampuh untuk mengendalikan arus pergerakan. Yang penting, jangan biarkan macan lapar, karena ia pasti akan menerkam.

 
 
Dinamika Dunia Pergerakan
 
Menjadi aktivis itu sebuah pilihan, dan setiap keputusan mengandung konsekuensi. Begitu pula ketika kita memutuskan untuk memilih menjadi aktivis pergerakan. Banyak harapan di depan, juga tak sedikit rintangan. Misi menciptakan dunia akan selalu berhadapan dengan dinamika dunia yang sudah tercipta. Ada banyak macam dunia pergerakan. Berdasarkan sifatnya, ada yang moderat dan radikal. Berdasarkan orientasinya, ada yang profit dan non profit. Pilihan terhadap dunia pergerakan yang akan digeluti, juga menuntut kesiapan dan persiapan, baik mental maupun fisik.
 
 

Aktivis adalah manusia biasa. Disamping ia juga berperan sebagai pembawa misi perubahan. Oleh karenannya ketika akan mempersepsikan tentang aktivis dan dunianya, harus dilihat secara integral dari seluruh dimensi yang membentuk dirinya. Aktivis itu bukan robot yang menjalankan perintah sesuai misi pemrogramnya tanpa ada aspek-aspek lain yang menjadi pertimbangan. Sebagai makhluk sosial, seorang aktivis memiliki banyak dimensi yang mempengaruhi cara pandang, pola pikir, sikap dan karakternya. eksistensi aktivis dalam kehidupannya senantiasa saling berkorelasi membentuk satu kesatuan pribadi yang utuh. Memberikan warna dan karakter yang khas atas dirinya. Serta membangun tata dunianya dalam dinamika pergerakan. Terdapat 4 eksistensi yang melekat pada setiap pelaku pergerakan dipandang dari latar belakang eksistensi dan tanggung jawabnya, yaitu :

 

1.               Aktivis sebagai dirinya sendiri; sebagai manusia yang memiliki fitrah untuk mencintai diri dan kehidupannya. Banyak faktor yang mempengaruhi cara pandang, pola pikir dan sikap prilakunya. Lingkungan budaya tempatnya dilahirkan, bersosialisasi dan beinteraksi menjadi ciri tertentu dari setiap bentukannya. Fitrahnya membawa dirinya pada obsesi manusiawinya untuk memperoleh kesenangan dan kemenangan cita dan harapan yang melambung bersama langkahnya. Ketika seorang aktifis menjalankan fungsi keaktifisannya, langsung atau tidak langsung, karakter yang melekat pada dirinya akan ditransformasikan kepada kader dan masyarakat melalui proses kaderisasi dan upaya perubahan sosial yang dilakukannya. Karena proses sosialisasi, transformasi dan ideologisasi merupakan kesatuan yang integral dengan pelakunya, baik aktifis maupun subyek gerakannya beserta seluruh variable dirinya.

 

2.               Aktivis sebagai bagian dari keluarga; pembentukan karakter seorang aktivis dimulai dari keluarga. Semenjak kecil, ia telah berinteraksi dengan kultur keluarga dalam waktu yang lama. Pengaruh keluarga dalam membangun pribadi seseorang sangat urgen. Aktivitas apa pun yang ia lakukan tak akan lepas dari pengaruh keluarga. Begitu pula ketika ia menetapkan pilihan untuk menjadi aktivis, keluarga akan menjadi salah satu faktor pertimbangan.

 

3.               Aktivis sebagai bagian dari organisasi; sebelum ia berpredikat aktivis, ia tentu telah menjalani serangkaian prosesi yang menjadikannya sebagai aktivis. Mulai dari perekrutan, pendidikan dan pembinaan dirinya di struktur organisasi dalam proses panjang yang sistematis. Yang semuanya itu secara otomatis melibatkannya dalam dinamika organisasi. Tidak luput dari ideologi dan politik di organisasi di mana ia beraktifitas. Misi organisasi adalah misinya.

 

4.               Aktivis sebagai bagian dari masyarakat; ketika aktivis mengklaim dirinya sebagai pelaku perubahan soaial, tentunya ia bukan lagi hanya sebagai kader organisasi. Dirinya adalah milik orang, hidup dan kehidupannya untuk masyarakat. Selain itu, ia juga merupakan produk dari masyarakat Kultur sosial yang membangunnya adalah penyusun karakternya.

 
Tuhan telah menciptakan manusia pada tabi’at ganda; individual dan sosial dalam satu waktu. Maka individualisme merupakan bagian original dari eksistensinya, oleh karena itu ia mencintai dirinya dan cendnerung kepada paengukuhan dan menonjolkannya serta ingin merdeka dengan privacy (urusan khusus) dirinya. Meskipun demikian kita melihat terdapat padanya dorongan fitrah untuk berkumpul (bersosial) dengan orang lain, oleh karena itu penjara pengasingan dianggap sebagai hukuman yang berat bagi manusia, meskipun di dalamnya ia dapat menikmati kesenangan. Sistem yang baik adalah yang memperhatikan kedua sisi ini (individual dan sosial), dan tidak boleh salah satunya melanggar yang lainnya.
 
 
 
 
Idealisme VS realitas
 
Menjadi aktivis mempunyai nilai lebih tersendiri. Wajar jika banyak orang yang merasa bangga ketika ia memiliki predikat sebagai aktivis. Tipe orang yang berbeda dengan mayoritas. Karena jumlahnya yang tak banyak, maka ia sering disebut dengan ”Creative Minority”. Yang artinya sedikit orang yang kreatif, atau dapat juga diartikan sebagai seseorang atau sekelompok orang yang mau melakukan sesuatu yang tidak biasa dilakukan oleh orang lain, dalam hal ini disebut perubahan. Perubahan berarti membuat sesuatu yang berbeda dengan yang ada saat ini.
 

Sebagai orang yang terbiasa bergelut dengan problem, baik di organisasinya maupun di masyarakat dimana ia berinteraksi dan berdialektika, secara psikologis aktivis memiliki tingkat kematangan diri satu tingkat lebih dari orang yang bukan aktivis. Dalam dunia pergerakan terjadi akselerasi pendewasaan diri dan komunal pelakunya. Kesempatan belajar yang tak dimiliki oleh orang lain dan tak dapat diperoleh di bangku sekolah, terutama dalam hal manajemen diri, organisasi, jaringan dan relasi sosial.

 
Budaya dan doktrin-doktrin organisasi dapat membentuk paradigma berpikir dan sikap organisatoris seorang aktivis. Misi organisasi menjadi langkah hidup dan kehidupannya. Ia tidak hanya memikirkan dirinya, tapi juga harus berpikir untuk orang banyak. Idealisme demikian terbentuk melalui proses internalisasi dan ideologisasi misi yang dilakukan secara disengaja oleh organisasi atau pun yang terjadi dengan sendirinya setelah melalui berbagai proses aktivitas yang dilaluianya. Dalam perjalanannya, idealisme tersebut mengalami pasang surut ketika berhadapan dengan banyak masalah yang menimpa diri, organisasi dan masyarakatnya. Tidak sedikit yang berujung pada pragmatisme realistis.
 
 

Ketika idealisme organisasi menjadi misi, dan kondisi realitas menuntut lain?. Ketika pilihan itu datang, jalan mana yang akan diambil? Saat ini aktivis seringkali terjebak pada dua pilihan. Antara misi organisasi dan kebutuhan pribadinya. Di satu sisi, profesionalisme aktivis menjadi tuntutan, di sisi lain ada desakan kebutuhan pribadinya.  Contoh konkritnya, ketika aktivis terbentur dengan kebutuhan logistik. Saat ini tak sedikit aktivis yang rela menggadaikan idealismenya demi untuk memenuhi kebutuhan ini. “Aktivis tanpa logistik anarkis”, semboyan yang tak asing terdengar di dunia pergerakan saat ini. Sering digunakan sebagai senjata oleh para penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Ternyata logistik mampu meredam semangat perubahan yang telah menggebu di dada para aktivis. Dengan logistik segalanya selesai, dengan logistik semua damai. Banyak faktor yang menjadi pemicu. Faktor konsistensi idelisme yang rendah diikuti kondisi ekonomi yang lemah menjadi pemicu utama. “Fakir dekat dengan kafir”. Ungkapan tersebut sangat relevan dalam hal ini. Kekurangan ekonomi ternyata dapat meruntuhkan idealisme seseorang. Dengan kata lain ‘kafir’ dari apa yang diperjuangkannya ketika berhadapan dengan kebutuhan ekonomi.

 
Motivasi menjadi aktivis dan lingkungan beraktivitas pun berperan dalam membentuk karakter dan idealisme seseorang. Tingkat independensinya pun beragam. Tumbuhnya apatisme aktivis terhadap persoalan soaial juga dipengaruhi oleh faktor kemapanan logistik. Orang yang mapan cenderung merasa nyaman, dalam arti tidak merasakan keresahan dan ketidaknyamanan sosial. Problematika sosial yang terjadi dianggapnya sebagai persoalan orang lain karena dirinya tak merasakan hal tersebut sebagai masalah.
 
 

Tentu tidak semua aktivis sama, hanya oknum yang melakukan hal-hal tak terpuji seperti di atas. Harapannya demikian. Dinamika pergerakan masih dalam proses berdialektika dengan lingkungan dan sistem sosial, kondisi internal subyek dan paradigma gerakan itu sendiri. Implikasi dinamika paradigma dunia pergerakan dan realitas sosial telah membentuk karakter dan kepribadian aktivis, baik sebagai individu maupun sebagai pelaku pergerakan. Ada beberapa klasifikasi tipe-tipe aktivis berdasarkan tingkat idealisme dan eksistensinya, yaitu:

 
 

1.       Aktivis idealis (kader pelopor), selain mengetahui banyak hal tentang seluk beluk organisasi atau pergerakan yang ia geluti, ia juga memiliki pengaruh yang kuat terhadap kebijakan-kebijakan dan laju roda organisasinya. Misi dirinya adalah misi organisasinya, dan misi organisasinya adalah misi dirinya. Keberadaannya adalah ’wajib’, karena tanpanya, organisasi tidak dapat bergerak.

 

2.       Aktivis Penggembira (kader hore), tipe ini biasanya motivasi aktivitasnya hanya sekedar ikut-ikutan, tanpa orientasi yang jelas, dan terkadang bukan berdasarkan pilihan sadar. Mayoritas dari tipe ini kurang memahami tujuan dan misi organisasi yang sedang ia geluti. Kalau dalam pertandingan bola basket, ia diibaratkan ’pemandu sorak’nya. Hanya untuk meramaikan. Keberadaanya ’sunah’ atau dapat dikatakan ’mubah’. Ia ada atau tidak pun tidak banyak mempengaruhi perjalanan organisasinya. Tapi ketika tiada pun, sepertinya perjalanan pergerakan terasa ada yang kurang.

 

3.       Aktivis Opportunis (kader Egois), tipe ini tidak jauh berbeda dengan ciri-ciri aktifis idealis, perbedanya terletak pada misi yang diembannya. Misi pribadinya di atas misi organisasinya. Pada setiap langkah dalam aktifitasnya senantiasa terselip misi dan kepentingan pribadinya.

 
 
 
Menjaga Idealisme
 

Menjaga idealisme bukan hal yang mudah dilakukan, akan tetapi bukan pula sesuatu yang mustahil untuk diwujudkan. Beberapa langkah yang diharapkan menjadi alternatif solusi di tengah kemelut citra aktivis pergerakan, diantaranya adalah sebagai berikut:

 
1.       Mereview Niat
 

Satu hal yang harus menjadi bahan renungan, ketika suatu masalah atau sebuah kegagalan melanda kita, adalah ’pertanyaan terhadap niat’ kita untuk melakukan sesuatu. Apakah ada yang salah dengan niat kita? Baik niat awal maupun niat lanjutan (perjalanan dari niat awal). ”sesungguhnya segala amal perbuatan itu berdasarkan pada niat”. Hadits Rosulullah ini ada, bukan tanpa pengalaman realitas sejarah. Saat ini coba kita maknai hadits yang singkat dan tampak sekilas sederhana tersebut dalam aktifitas organisasi. Niat adalah akar dari setiap tindakan. Sudahkah kita melakukan refleksi terhadap niat kita ketika beraktifitas di dunia pergerakan. Pertanyakan kembali ’sudah benarkah dengan niat kita ketika menjalankan amanah,  sehingga setumpuk masalah dan kegagalan kerap melanda.?’

 
 
2.       Keberanian bersikap dengan segala konsekuensinya
 

Hanya orang-orang yang memiliki mental tangguh yang mau memutuskan pilihan untuk menjadi aktivis mengingat beratnya tanggung jawab yang harus diembannya. Misi perubahan membutuhkan banyak pengorbanan, baik waktu, tenaga, pikiran, energi dan bahkan materi. Bukan satu atau dua masalah yang harus dihadapinya, bahkan belum selesai satu masalah sudah datang lagi masalah yang lain. Oleh karena itu meniscayakan kemampuan mengambil langkah tepat ketika menghadapi masalah-masalah tersebut. Secara otomatis ia juga harus memiliki kemampuan dan keberanian untuk mengambil keputusan serta siap dengan segala kemungkinan konsekuensinya. Keputusan atau langkah apa pun yang diambil pasti mengandung konsekuensi. Kesadaran inilah yang harus dipegang oleh setiap aktivis. Bahwa menjadi aktivis adalah pilihan.

 
 
3.       Memaknai independensi
 

Ada dua karakter bangun independensi yang dapat dimaknai dalam dunia pergerakan. Independensi individu pelaku pergerakan dan independensi dari lembaga atau organisasi pergerakan itu sendiri. Ketika independensi dijaikan sebagi pilar pergerakan, meniscayakan sinergitas independensi individu dan independensi organisasi sekaligus. Akan terjadi ketimpangan kemudian jika salah satunya diabaikan. Misalnya, seorang aktivis pergerakan mempunyai komitmen terhadap prinsip independensi, akan tetapi lembaga atau organisasi tempat ia beraktifitas tidak kondusif untuk mengimplementasikan prinsip idealnya tersebut, organisasinya tidak memiliki karakter bangun independensi, atau prinsip independensinya hanya tersurat tekstual dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga semata tanpa aplikasi. Sudah dapat dipastikan, idealisme independensi yang selama ini dimikliki aktivis tersebut tidak dapat terakomodir dalam realitas. Atau sebaliknya, ketika sebuah organisasi memiliki prinsip-prinsip independensi yang kuat, akan tetapi para pelakunya mengingkari prinsip-prinsip tersebut, maka independensi hanyalah tinggal sebuah nama atau simbol.

 
 
4.       Membuktikan Karya dan Prestasi Sosial
 

Untuk mengembalikan citra dan kepercayaan aktivis pergerakan di mata masyarakat adalah dengan menunjukan bukti karya dan prestasi sosial. Masyarakat sudah tidak membutuhkan janji dan teriakan perubahan tanpa isi, tanpa aksi yang menyentuh langsung kepada masyarakat. Berkontribusi positif dalam memecahkan problematika sosial merupakan bentuk karya nyata yang kini masih dinantikan oleh masyarakat. Kembali pada orientasi tugas dan tanggung jawab aktivis pergerakan yang mengemban misi perubahan, sangat relevan selogan ”keberadaan adalah kebermaknaan”. Kita tidak akan dianggap ada jika kita tidak memiliki karya yang bermanfaat untuk masyarakat.

 
 

Bukan sekedar citra yang harus diperbaiki, namun hal yang lebih urgen adalah kemauan untuk menjadi kader pergerakan yang sesungguhnya. Yaitu, menjadi aktivis yang membawa misii perubahan dengan penuh tanggung jawab, sehingga keberadaannya bukan hanya sekedar label. Mentalitas pergerakannya terbentuk secara utuh dalam proses panjang yang penuh dinamika. Tentunya harapan masyarakat adalah terbangunnya kehidupan yang adil dan damai, bebas dari segala bentuk tirani dan ketimpangan sosial. Dan semua ini dapat terwujud manakala terjadi kerjasama yang positif antara subjek (masyarakat) dan penggerak subjek perubahan (aktivis), agar dapat bersama-sama menikmati zona nyaman hidup dan kehidupan di masa kini mau pun di masa depan.


 

PD PII Kab. Serang

Ali Syahbana
PD PII Kota Cilegon

Sofiullah Solehudin A.
PD PII Kab. Lebak

Suhaemi
PD PII Pandeglang

Azis Faudzul Adzim
PD PII Kota Serang

-------

 
This website was created for free with Own-Free-Website.com. Would you also like to have your own website?
Sign up for free